Politik dan Kekuasaan: Saudara Kembar yang Mulai Terlupakan?
Ketika kita mendengar kata politik, sebagian besar dari kita langsung membayangkan kekuasaan. Wacana ini telah menjadi stereotip yang melekat erat dalam kesadaran kolektif masyarakat. Jika politik dipahami semata-mata sebagai instrumen untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, maka generalisasi tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, apakah benar politik hanya tentang kekuasaan?
Dalam kajian yang lebih luas, politik dapat dilihat sebagai ruang dinamis tempat berbagai kepentingan saling bertemu, bernegosiasi, dan kadang bertabrakan. Tapi, jika kekuasaan tetap menjadi inti (subtansi) dari praktik politik, maka bisa dikatakan bahwa politik dan kekuasaan adalah saudara kembar—dua entitas yang sulit, bahkan mustahil, untuk dipisahkan.
Mengapa Politik Hari Ini Terlihat Semakin Terkelupas dari Substansinya?
Problematika yang muncul hari ini bukan sekadar tentang theaardvarkfl.com bagaimana politik dijalankan, tetapi tentang bagaimana ia dipahami. Politik dalam bentuknya yang klasik—seperti pada masa Yunani kuno ketika Aristoteles dan Plato menggagas politik sebagai jalan menuju kebaikan bersama (the good life)—kian hari makin terpinggirkan.
Kini, politik cenderung direduksi menjadi sekadar mekanisme elektoral, alat perebutan jabatan, atau ajang pragmatisme kepentingan. Di titik inilah krisis tafsir terhadap politik terjadi. Masyarakat mulai kehilangan orientasi mengenai ke mana arah kekuasaan itu bergerak dan seperti apa misi politik yang sebenarnya.
Ketika Politik Menjadi Hipokrit: Implikasi dan Bahayanya
Kita hidup dalam zaman ketika pembuktian terhadap realitas politik melalui kritik justru menghasilkan politik yang hipokrit. Artinya, transparansi tidak lagi membuahkan kejelasan, melainkan menciptakan keraguan yang baru. Ketika kritik tidak lagi membangun tapi justru memunculkan kecurigaan kolektif, maka kepercayaan publik terhadap politik akan terkikis.
Inilah yang membuat banyak orang menilai politik sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, bukan hanya karena para pelakunya, tetapi karena bagaimana politik itu sendiri dipahami dan diterjemahkan secara sosial.
Perlu Ada Plato dan Aristoteles Baru
Maka, dalam konteks kontemporer ini, kita membutuhkan sosok-sosok baru—“Plato dan Aristoteles masa kini”—yang mampu merumuskan ulang visi politik, bukan hanya sebagai alat kekuasaan, tapi sebagai ruang etik, logis, dan humanistik. Kita perlu revitalisasi politik, yaitu upaya menyegarkan kembali nilai-nilai dasar politik agar tidak hanya menjadi alat dominasi, tetapi jalan untuk mencapai kehidupan publik yang adil dan beradab.
Menutup dengan Sebuah Perhatian
Politik akan terus menjadi subjek interpretatif yang kompleks. Setiap orang bisa saja menafsirkan politik dengan sudut pandangnya sendiri, berdasarkan pengalaman, pengetahuan, atau bahkan prasangka. Oleh karena itu, memahami politik bukan sekadar mengandalkan data atau wacana permukaan, tapi juga menyelami esensi dan subtansi dasarnya.
Sebab, pada akhirnya, orientasi dari bagaimana politik bekerja akan selalu berakar pada bagaimana kita memahami politik itu sendiri.
Baca Juga : Apa Kata Kaum Muda Tentang Politik? Riset Ungkap Kriteria Figur