
Menghadapi Pemilu 2024: Tantangan Sikap Politik Warga Negara
Menghadapi pemilihan yang begitu penting bagi masa depan negara kita, sikap politik kita menjadi krusial. H-2 menuju pemungutan suara, suasana politik semakin tegang dengan serangkaian kampanye terakhir dan upaya terakhir dari masing-masing kandidat untuk meraih suara pemilih.
Para kandidat dari berbagai partai politik terus berusaha memperoleh dukungan, baik melalui jepang slot janji-janji politik maupun upaya memperbaiki citra mereka. Namun, di sisi lain, warga negara juga harus mengambil sikap politik yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Sikap politik yang bijaksana tidak hanya tentang memilih kandidat berdasarkan popularitas atau janji manis semata. Ini juga tentang memahami visi, misi, dan program kerja yang diusung oleh masing-masing kandidat. Lebih dari itu, sikap politik yang bertanggung jawab mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pilihan kita terhadap negara dan masyarakat.
Kita sebagai warga negara memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemilihan yang cerdas, berdasarkan informasi yang akurat dan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu yang dihadapi negara kita saat ini. Selain itu, kita juga harus menjaga ketertiban dan kedamaian selama proses pemilihan, menghormati perbedaan pendapat, serta tidak terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa partisipasi politik tidak berakhir pada hari pemilihan. Setelah pemilihan selesai, kita harus tetap aktif dalam mengawasi kinerja para pemimpin yang terpilih, memberikan masukan, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Sebagai warga negara, sikap politik kita memiliki dampak yang besar terhadap arah dan masa depan negara kita. Dengan hanya dua hari tersisa sebelum pemungutan suara Pemilu 2024, mari kita ambil sikap politik yang bijaksana, bertanggung jawab, dan peduli terhadap kepentingan bersama. Suksesnya sebuah pemilihan tidak hanya tergantung pada para kandidat, tetapi juga pada sikap politik yang diambil oleh setiap individu dalam masyarakat.
Pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia cenderung mengarah pada sistem presidensial. Namun, menurut Mohammad Fajrul Falaakh, sistem pemerintahan Indonesia juga “mengandung” ciri sistem pemerintahan parlementer. Ciri itu terlihat pada fusion of executive and legislative power dalam pembentukan Undang-undang, eksistensi koalisi partai politik pendukung pemerintahan dan monopoli partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan dikategorikan sebagai negara yang menerapkan sistem presidensial, Indonesia sangat dimungkinkan bisa mengalami kondisi politik yang diametral sebagai dampak prinsip winner takes all dan separation of powers.
Baca Juga : Mengapa Politik Uang Masih Terjadi Walau Sudah Ada UU?

Mengapa Politik Uang Masih Terjadi Walau Sudah Ada UU?
Istilah politik uang atau money politic sering didengar ketika mendekati pesta demokrasi, termasuk Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada esok hari, (27/11/2024).
Lihat juga: Membincang Kewajiban Izin Kampanye dalam Pilkada 2024 Bagi Anggota Dewan
Politik uang memainkan peran untuk menggaet nurani rakyat menggunakan imbalan materi. Bisa dikatakan https://wowbudgethotel.com/special-offers/ bahwa ini merupakan praktik jual beli suara pada proses politik.
Apa Itu Politik Uang?
Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH mengatakan bahwa politik uang adalah proses transaksi suara rakyat dalam proses politik elektoral (pemenangan pemilihan umum dan/atau Pemilihan kepala daerah) menggunakan uang sebagai instrumen transaksinya.
Dengan kata lain, ucap Dr Rifqi, sapanya, ini adalah praktik penggunaan kekuatan finansial untuk membeli suara rakyat guna memenangkan proses pertarungan politik.
“Dalam Islam, politik uang identik dengan konsep risywah (suap), yakni penggunaan uang/ harta untuk mendapatkan keuntungan secara tidak layak dari keputusan atau tindakan seseorang,” ucapnya.
Berpengaruh dalam Penentuan Hasil Pilkada
Baik dari sisi politik kenegaraan maupun dalam Islam, menurut Dr Rifqi praktek ini adalah suatu kejahatan, bukan sekedar pelanggaran, karena dipandang merendahkan harkat kemanusiaan dan mengancam keberlangsungan suatu peradaban.
Dr Rifqi mengatakan bahwa dalam konteks politik elektoral, politik uang akan sangat mempengaruhi hasil dari Pilkada. Terlebih akhir – akhir ini, kualitas demokrasi di Indonesia mengalami pemerosotan.
Kebanyakan masyarakat masih melihat uang sebagai bentuk pertukaran yang sepadan untuk proses memilih mereka.
“Masih segar diingatan kita tentang polemik Bansos (bantuan sosial) yang dipandang sebagai kunci kemenangan Paslon 02 dalam kontestasi Pilpres 2024,” dosen Hukum Umsida itu.
Dalam konteks Pilkada, imbuhnya, selama ini penggunaan politik uang terbukti efektif, karena proses pembuktiannya terbilang sulit dan pelik. Mengingat tidak banyak masyarakat lokal yang malah berbahagia dengan proses transaksi politik yang terjadi.
Menurutnya, Keberadaan UU Pemilu dan UU Pilkada sebagai instrumen untuk mengatur jalannya kontestasi terbilang efektif.
Baca Juga : Menang Atas China, Peringkat FIFA Indonesia Diprediksi Naik
“Namun jika dikaitkan dengan efektivitas dalam menanggulangi, apalagi mengurangi praktek politik uang, saya rasa tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa instrumen pengaturan itu efektif,” ujar dosen yang mendapat gelar doktor di Universitas Muhammadiyah Surakarta itu.
Efektifitas hukum tidak cukup hanya didasarkan pada adanya peraturan perundang-undangan yang baik.
Karena untuk bekerjanya perundang-undangan sebagaimana mestinya, diperlukan struktur (penegakan) hukum yang kuat dan efektif, serta budaya hukum dalam masyarakat yang mendukung terpenuhinya tujuan dan cita hukum dalam undang-undang.
Ia mengatakan, “Permasalahannya sebagaimana diatas, struktur hukum yang bertanggung jawab atas penegakan hukum terbilang lemah. Di sisi lain, budaya hukum kepemiluan kita sudah terlanjur permisif terhadap praktek jual-beli suara,”.